17 April 2009

Ibu Sabariyah


Ibu Sabariyah adalah anak bungsu Eyang Mochamad Chasan dan Eyang Tuminah . Beliau dilahirkan di Kauman Purwokerto pada hari Sabtu tanggal 28-12-1928 malam hari. Putri ke 10 dari pasangan Muhammad Chasan dan Eyang Tuminah ini menghabiskan masa kecilnya dialam penjajahan dalam suasana penuh keprihatinan.
Namun semua itu dijalaninya dengan penuh kesabaran yang merupakan refleksi dari namanya :
- Sabariyah -
Dijajah Belanda & Jepang tidak berarti pasrah dengan keadaan. Sabariyah berusaha menuntut ilmu sesuai kemampuannya. Lebih dari 3 sekolahan telah dilalapnya.

Mula-mula Ibu Sabariyah sekolah di Sekolah Rakyat Tangsi selama 3 tahun kemudian melanjutkan ke MVS (Meisyes Vervolg School ) yang merupakan sekolah khusus wanita lanjutan
sekolah rakyat yang pelajarannya ditambah memasak dan membatik selama 3 tahun dan tamat.
Ternyata beliau masih merasa tidak puas karena sekolahnya tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Akhirnya beliau mencari sendiri sekolah yang berbahasa Belanda dan masuk kelas 5. Namun baru 1 tahun sekolah disitu Jepang datang ke Indonesia sehingga sekolahnya bubar.

Selama sekolah beliau selalu Juara dan bahkan baru kelas 4 sudah dipercaya mengelola perpustakaan ( Bibliotik). Karena itulah beliau hobby sekali membaca sampai sekarang. Selain itu beliau juga menjadi kepercayaan para guru sehingga sering disuruh guru untuk membantu mengisi raport murid-murid yang lain.

Semasa sekolah Ibu Sabariyah satu kelas dengan Soeyitno putra dari Bapak Darono seorang Kepala Stasiun. Pak Soeyitno ini mempunyai seorang kakak bernama Soewarto. Tampaknya hubungan pertemanan antara Ibu Sabariyah dengan Pak Soeyitno akan ditingkatkan menjadi hubungan persaudaraan dengan. Pada tanggal 1 Juni 1950 Ibu Sabariyah menikah dengan Pak Soewarto yang kala itu telah menjadi seorang bintara Polisi Militer. Pernikahan Ibu Sabariyah termasuk melangkahi kakak tercintanya yaitu Bapak Dawoed. Ini memang sudah merupakan janji Bapak Dawoed bahwa beliau akan menikah setelah adik-adiknya mentas dan menikah. Bapak Dawoed baru menikah setelah Ibu Sabariyah mempunyai dua orang putri.

Pasangan Ibu Sabariyah dengan Bapak Soewarto dikaruniai 2 putra dan 4 orang putri.

1. Anita Putri menikah dengan Brigjen TNI (Pur) Abdul Cholik,M.Sc dan dikarunia 2 orang putri dan 3 orang cucu.

2. Budi Purwanti menikah dengan Kolonel Cpm (Pur) Hendragiri Waspada Jati dan dikaruniai 3 orang putri dan 1 orang cucu.


3. Chris Hary Puryanto. B.Sc menikah dengan Mukhyati,SE dan dikaruniai 2 orang putri dan 1 orang putra.

4. Diah Ayu Puruita menikah dengan Ir. Antono Fajar Satrio ( telah meninggal dunia )

5. Dra. Erna Devi Purbani menikah dengan Drs. Frans Masse Pakpahan, M.Sc dan dikarunai 2 orang putra-putri.

6. Mochamad Agus Fatwa meninggal dunia semasa balita karena sakit.

Semasa penjajahan Ibu Sabariyah kenyang dengan kegiatan ” mengungsi ”. Tentu pengungsian jaman dulu lain dengan pengungsian jaman sekarang. Dahulu mengungsi berarti long mars. berjalan kaki puluhan kilometer dengan berjalan kaki. Bersama kakak beliau-Pak Ismail- pernah mengungsi menyusuri lereng Gunung Slamet berkilo-kilo meter jauhnya. Ibu Sabariyah juga pernah pontang-ponting bersama kakak pertamanya-Ibu Marsinah diantara suara tembakan musuh sampai beliau terdampar di Stasiun Gubeng-Surabaya. Padahal tujuannya adalah Wonokromo. Beliau bersama Ibu Marsinah dan pengungsi lainnya disuruh segera meninggalkan stasiun Gubeng menuju arah Kapas Krampung yang tentu saja berlawanan arah dengan tujuan semula.

Ibu Sabariyah juga pernah mengikuti latihan dasar kemiliteran yaitu sebagai anggota Sukwati sekitar tahun 1966 an.


Sebagai anak bungsu tentu beliau disayangi oleh kakak-kakaknya. Pak Ismail yang bekerja di SDS-Sedajoe Dal Stroom Spoor (Perusahaan Kereta Api milik orang-orang Belanda) dikala libur sekolah mengajak Ibu Sabariyah nglencer naik kereta api hingga Wonosobo dan Maos.

Uniknya, sebagai anak bungsu dari Eyang Mochamad Chasan beliau mempunyai banyak keponakan yang usianya jauh lebih tua dari beliau. Ibu Soemarti, Ibu Soeryati, Ibu Soertinah, Bapak Soeloso,Bapak Soeparjo, Bapak Soeroto,Ibu Sulbiyah,Bapak Hartono,Bapak Soeprapto, dan Ibu Sudinah. Secara bergurau beliau mengatakan ” Lha wong Ibu saya melahirkan dan anaknyapun ada yang melahirkan , jadi ya punya anak dan barengan punya cucu ”.

Pak Soewarto telah meninggal dunia pada tahun 1983.
Kini Ibu Sabariah menetap di Cimahi bersama beberapa putri dan cucunya.


dCholik plus hasil wawancara Diah Ayu Puruita dengan Ibu Sabariyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar